”I’m not a girl, I’m a teenager,” kata Sita tegas suatu kali dengan bahasa Inggris kepada ibunya, Marta. Sejak saat itu, ia tidak mau lagi diatur-atur ibunya untuk urusan berbusana. Ia lebih suka rok daripada celana pendek yang biasa digunakan bocah cilik. Warna pakaiannya yang dibeli harus sesuai dengan karakter perempuan. Ia enggan mengenakan sepatu olahraga, tetapi gemar mengenakan sepatu khas perempuan.
Sita juga mulai mengenakan perhiasan imitasi murahan yang dia beli sendiri. ”Malah Sita beli cat kuku sendiri dan pernah minta diantar ke salon. Dia juga bilang, ’Nanti kalau sudah SMP saya akan ke salon sendiri. Ibu enggak usah mengantar,’” tutur Martaibu Sita.
Psikolog anak, Rosdiana Setyaningrum, mengatakan, orangtua tidak perlu khawatir jika mendapati anaknya yang masih bocah mulai ”genit”. Perilaku genit anak-anak sangat berbeda dengan perilaku genit remaja.
”Anak-anak berdandan karena meniru tingkah laku ibu, orang terdekat, atau tokoh idola di televisi. Sementara itu, remaja berdandan untuk meraih pujian dan menarik perhatian lawan jenis,” ujar Rosdiana.
Rosdiana melanjutkan, orangtua tidak perlu pula melarang anaknya yang masih bocah berdandan. ”Sebaiknya biarkan saja karena itu adalah bagian dari tahap perkembangan yang harus dilalui anak-anak,” ujarnya. Ia menambahkan, anak yang hobi berdandan sejak balita biasanya akan terus berdandan hingga remaja dan dewasa.
Dengan berperilaku seperti itu, kata Rosdiana, anak-anak belajar tentang identitas diri sebagai seorang perempuan. ”Jadi, enggak usah dianggap genit. Lebih baik orangtua menggunakan kesempatan ini untuk mendekati anak-anak. Arahkan (perilaku) itu ke perawatan diri supaya mereka belajar menghargai diri sendiri.”
(Sumber kompas / foto Ist)
0 comments:
Post a Comment